Akan ada 2 sudut pandang yang disajikan dalam ulasan kali ini ini, yaitu POV penggemar game dan POV penonton yang sama sekali belum pernah memainkan gamenya.
Bagi para fans, tentunya film yang digembor-gemborkan akan mengadaptasi cerita berdasarkan game Resident Evil ini, menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu. Semua berekspektasi bahwa film ini akan bisa mengobati rasa sakit hati setelah menonton film Resident Evil karya Paul W.S. Anderson yang mana telah menghadirkan Alice, karakter yang tidak ada dalam game, menjadi pemeran utama dalam film tersebut. Tapi nyatanya, film Resident Evil: Welcome to Racoon City (berikutnya akan disingkat RE:WTRC) Nampak belum berhasil melakukannya, dan malah memberikan sebuah luka baru bagi para penggemar.

Ada beberapa alasan kenapa fans begitu kecewa terhadap film ini. Pertama, karena film yang konon katanya akan mengambil jalan cerita dari game, justru berujung mengacak-ngacak timeline dalam game itu sendiri. Sebagai penikmat franchise video games-nya tentu tahu kalau film dibuka dengan kejadian dalam Resident Evil 2, saat Claire sedang dalam perjalanan menuju Raccoon City. Anehnya, cerita justru disatukan dengan tragedi Spencer Mansion (Resident Evil 1) yang seharusnya terjadi beberapa bulan sebelum cerita dalam Resident Evil 2. Bahkan di akhir film, digambarkan bahwa Racoon city sudah dihancurkan. Padahal alur cerita yang seharusnya dialami para karakter di kota tersebut sangat panjang, dan tidak cukup hanya dibuat ke dalam 1 film saja.
Tentunya pasti ada banyak pertimbangan yang film maker pikirkan saat membuat keputusan tersebut. Kita coba berbaik sangka dan lanjut menonton filmnya dengan anggapan dengan menggabungkan kedua cerita tersebut yang akan menciptakan sesuatu yang menarik. Tapi lagi-lagi, ekspektasi tersebut hancur karena cerita dalam film jadi terkesan terlalu dipaksakan dan terburu-buru.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah, film maker terlihat berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan setting semirip mungkin dengan game. Dari mulai bangunan, suasana, hingga detail kostum karakter dan senjata. Tentu para fans merasa senang saat melihat gedung RPD dan Spencer Mansion dalam film yang tampak identik dengan aslinya. Sayangnya, semua tampak tidak dimaksimalkan dengan baik. Latar yang seharusnya bisa membuat penonton terpukau, jadi tampak biasa saja. Bahkan property-nya pun terasa agak kasar, seperti misalnya gadung RPD sampai tampak seperti property yang dibuat untuk pentas teater.
Selanjutnya, masuk ke poin yang dirasa paling penting, dan paling banyak jadi topik pembicaraan, bahkan dari sejak film belum dirilis, yaitu, character building. Lagi-lagi fans sudah terlanjur berharap banyak bahwa film maker akan benar-benar menghadirkan karakter yang minimal secara fisik bisa membuat kita merasa kalau karakter dalam game benar-benar jadi nyata. Tapi dari mulai teaser film ini keluar pun, fans cukup banyak dikecewakan, terutama dengan sosok Jill Valentine dan Leon S. Kennedy yang sangat jauh berbeda.
Lagi-lagi fans coba mengerti kalau mungkin akan ada sesuatu berbeda yang akan disuguhkan. Terlepas dari penampilan fisiknya, mungkin secara sifat karakter akan benar-benar mewakili apa yang ada dalam game. Tapi, nyatanya hal itu belum bisa disuguhkan dengan baik. Seperti misalnya Albert Wesker yang harusnya bisa jadi sosok captain yang dikagumi, jenius, yang ternyata dia menyimpan sebuah rahasia dan berkhianat, justru tampak seperti karakter abu-abu yang kehilangan kharismanya. Leon sebagai polisi rookie terlalu dibuat lemah dan kehadirannya hanya sekedar menjadi bahan ‘bully’ dari karakter lain, sampai-sampai yang menonton justru merasa kasihan. Tidak heran kalau kemudian fans menyerang Avan Jogia sebagai actor yang memerankannya. Meski sebenarnya Avan sudah berusaha keras untuk menampilkan karakter Leon sebaik mungkin, tapi pihak sutradara yang justru telah membuat pilihan salah dari awal memutuskan untuk mengubah penampilan fisik karakter tersebut.

Satu-satunya yang bisa berhasil mengobati kekecewaan hanyalah karakter Claire Redfield yang dibawakan dengan sangat baik oleh Kaya Scodelario. Dan mungkin Robbie Amell sebagai Chris Redfield, yang secara penampilan sudah sangat mewakilkan karakter dalam game.

Bonding antar karakter di film ini pun terasa hambar. Padahal ada bagian-bagian yang seharusnya lebih dimaksimalkan sehingga bisa memainkan emosi penonton. Seperti misalnya saat Wesker yang ternyata diketahui berkhianat dari timnya, semua tampak biasa saja menanggapi hal yang seharusnya membuat mereka kecewa. Lalu saat Chris yang diserang oleh Tyrant William Birkin, yang mana dia bilang sebelumnya kalau William sudah terasa seperti ayah untuknya. Tapi tidak ada emosi apa pun yang terasa saat kemudian Chris terpaksa melawan Willian dan memusnahkannya. Hubungan saudara antara Claire dan Chris yang seharusnya kerasa sweet pun malah terasa hambar. Film jadi terasa flat karena penonton tidak merasa simpati sama sekali kepada semua karakter dalam film.
Karakter monster yang dihadirkan pun tidak dimaksimalkan. Seakan terkesan hanya jadi peramai suasana, yang kemudian hanya muncul beberapa scene saja sebelum mereka mati. Bahkan Lisa Trevor yang diperkirakan mungkin akan jadi salah satu big boss yang dihadapi para karakter, justru jadi monster yang menolong Claire, sahabat masa kecilnya. Hal itu justru menimbulkan tanda tanya besar bagi para penggemar. Semua monster terlalu mudah dikalahkan, sama sekali tidak membuat penonton merasa takut dan khawatir karena memandang mereka sebagai sosok yang mengancam.

Di samping segala kekurangannya, masih ada hal yang patut diapresiasi. Karena film maker sudah berusaha menyajikan hal-hal yang membuat para fans merasa nostalgia terhadap game Resident Evil yang rilis di tahun 90an. Ada kejutan-kejutan yang hanya akan disadari oleh penikmat gamenya saja. Seperti penampilan sosok zombie di mansion, kunci berbentuk lambang kartu, lagu moonlight sonata, tulisan itchy tasty, hingga joke yang paling dikenal di kalangan fans yaitu ‘Jill’s sandwich’. Namun itu saja tidak cukup. Fans butuh lebih dari sekedar mendapatkan easter egg di dalam film. Kasarnya, film ini bahkan tidak lebih bagus jika dibandingkan dengan kompilasi cutscene di dalam video games.
Sedangkan dari sudut pandang penonton yang tidak memainkan gamenya, film RE:WTRC ini nampaknya masih belum bisa jadi sesuatu yang meninggalkan kesan. Ceritanya terlalu klise, dan tidak ada hal menarik yang ditawarkan dari dalam ceritanya. Ditambah lagi cast-nya “kelas B”-nya. Jadi semakin membuat film ini tidak mampu memiliki daya tarik yang membuat seseorang ingin menonton, apalagi dengan tandingan film Spider-Man yang masih menjadi tayangan hits di timeline perilisannya di Indonesia.

Secara karakter dan relatable factor karakter dan penontonnya kurang terasa. Isu kakak beradik yatim piatu yang diceritakan pun seharusnya masih bisa dibuat lebih baik. Urgensi karakter untuk bisa survive kurang terasa dengan pace yang agak lambar untuk sejenis film thriller. Sebuah “reboot” yang cukup mengecewakan.