“What is the most resilient parasite? Bacteria? A virus? An intestinal worm? An idea. Resilient, highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain, it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed — fully understood — that sticks; right in there somewhere”
Dom Cobb, memberikan narasi di atas pada Saito yang sedang makan malam. Adegan yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dan Ken Watanabe adalah adegan pembuka film Inception (2010) yang disutradarai oleh Christopher Nolan, sebuah dunia fiksi berupa mimpi di dalam mimpi dengan cerita dan yang efek super wah.
Tapi ketika pertama kali saya menonton Inception, pikiran saya menjangkar pada narasi yang diberikan oleh Cobb tersebut. Saya sangat setuju bahwa sebuah ide akan menempel dan sangat ‘menular’ jika sudah tertanam dengan kuat di otak. Tapi dari narasi tersebut, muncul satu pertanyaan yang mengganggu di otak saya:
If idea is one of the most resilient thing, then what is the most satisfying thing?
Selama 11 tahun, saya tidak pernah tahu jawabannya. Sampai akhirnya, saya menonton film Spider-Man: No Way Home bersama teman rekan WatchmenID. Di akhir film, tepat ketika The Amazing Spider-Man alias Peter Parker versi Andrew Garfield bersalaman dengan Max Dillon sang Electro, ottak saya menyala, mengingat dan menjawab pertanyaan yang sudah saya pendam sejak dulu:
Rekonsiliasi berupa act of redemption, adalah satu hal yang paling memuaskan.
Jelajah Memori & Jati Diri
Waktu itu saya masih SMA kalau tidak salah, ketika saya baru pertama kali melihat Tobey Maguire ‘berubah’ menjadi Spider-Man. Saya ingat betul rasa kagum dan senyum lebar ketika melihat film Spider-Man karya Sam Raimi di layar kaca, sebuah film superhero berkualitas akhirnya lahir! Dari film inilah, kecintaan saya pada film terutama film-film superhero dimulai.
Banyak orang bilang bahwa Spider-Man karya Sam Raimi inilah yang membuka jalan kesuksesan bagi Marvel Cinematic Universe (MCU) dan semesta superhero lainnya di seantero dunia. Dan bagi saya pribadi, sangat setuju dengan pendapat tersebut.

Film Spider-Man adalah film superhero modern pertama yang terasa ‘niat’ dibuat. Cerita origin dibuat dengan emosi yang sangat kuat, dimana penonton bisa merasakan perjalanan yang detail bagaimana seorang Peter Parker berubah menjadi Spider-Man.
Saya menganggap bahwa investasi waktu dan emosi yang diberikan oleh penonton dibayar sepadan dengan cerita yang diberikan oleh Sam Raimi. Segala macam emosi yang ada di film ini menjadi core memory yang menyenangkan, yang akan terus menempel bagi siapapun yang merasa kagum dan terkesima dengan film Spider-Man (2002)
Setelah kesuksesan film pertamanya, munculah film kedua dan film ketiga yang terus mengeksplorasi dan mengeksploitasi perjalanan hidup Peter Parker versi Tobey Maguire menjadi seorang Spider-Man. Sam Raimi pun menambah kualitas film lanjutannya, dengan mengembangkan cerita secara progresif menggunakan karakter villain yang sesuai dengan versi komiknya. Mulai dari Dr. Octavious, Green Goblin, Sandman, New Goblin, hingga Venom. Semua dramanya, aksinya, narasi dan karakternya, menempel dengan kuat pada setiap orang yang menontonnya.
Saya baru menyadarinya kemarin, saya merasa bahwa Sam Raimi adalah Kevin Feige sebelum waktunya. Dia punya visi tentang dunia superhero yang besar, tapi sayang waktu dan situasi tidak mendukung visinya tersebut waktu itu.
Tapi kemudian, visi tersebut ditangkap oleh Marc Webb, sutradara yang membuat reboot film berjudul The Amazing Spider-Man. Perspektifnya diubah total, mulai dari cast Peter Parker yang diganti secara brilian oleh Andrew Garfield dan Gwen Stacy versi Emma Stone, hingga storyline dan jajaran rogues gallery yang berbeda. Sebuah semesta Spider-Man baru lahir kembali, dan rasanya tetap sama: Semua drama, aksi, narasi, dan karakternya menempel dengan kuat pada setiap orang yang menonton.

Third time’s a charm, barulah setelahnya lahir Spider-Man yang berada di tengah-tengah MCU yang sudah sangat besar: Peter Parker versi Tom Holland yang secara cerdas diperkenalkan langsung oleh Kevin Feige, tanpa ada original story, tanpa ada penjelasan terdahulu siapa itu Peter Parker dan kenapa dia bisa menjadi seorang Spider-Man.
Keputusan Kevin Feige yang menurut saya brilian ini dilandaskan pada satu hal: Semua orang sudah tahu siapa itu Spider-Man alias Peter Parker berkat pola yang sama dari dua franchise sebelumnya.
Berkat Sam Raimi dan Marc Webb, Spider-Man telah menjadi salah satu superhero yang paling mudah dikenali dan dipahami karena ada pola yang sama diantara kedua semesta tersebut. Hasilnya, penonton akan otomatis tahu ekspektasi apa yang akan didapatkan ketika melihat Spider-Man di layar bioskop: Peter Parker digigit oleh laba-laba dan menjadi Spider-Man, dia bertemu musuh bebuyutan yang sesuai dengan komiknya, dan dia kehilangan seseorang yang sangat disayanginya.
Selama 12 tahun dengan dua franchise superhero ini, polanya selalu sama. Tapi tidak pernah utuh sepenuhnya.
Satu detail inilah yang dilihat oleh Kevin Feige dan Jon Watts, sehingga mereka membuat Spider-Man: No Way Home terasa begitu spesial pada penontonnya.
Seri Spider-Man pertama dan The Amazing Spider-Man punya plot yang saya bilang ‘keluar’, dimana kita mengikuti petualangan Peter Parker yang berubah menjadi Spider-Man dengan segala dinamikanya. Penonton diceritakan dan diperlihatkan tentang transformasi tersebut dari faktor-faktor eksternal, terutama yang disebabkan oleh musuh bebuyutannya. Dua film Spider-Man pertama MCU punya plot ‘keluar’ yang sama, hanya saja tidak dimulai dengan pola yang sama:
Bukan dari titik 0 ke titik 3, tapi justru dari titik 3 ke titik 0.
Masih ingat bagaimana Peter Parker versi Tom Holland pertama kali muncul? Dia tidak muncul dengan pakaian alakadarnya seperti Peter Parker versi Tobey dan Andrew, dia langsung muncul dengan pakaian canggih yang diberikan oleh Tony Stark ketika melawan tim Captain America di Civil War. Penonton juga diperkenalkan Spider-Man terlebih dulu, bukan Peter Parker. Barulah di trilogi filmnya sendiri, kita tahu seluk beluk siapa orang di balik Spider-Man dan Peter Parker, mulai dari teman dekatnya, pacarnya, tantenya serta musuh-musuhnya.
Dari titik 3, turun ke titik sebelumnya.
Disinilah jeniusnya Kevin Feige dan Jon Watts, dimana mereka merancang Spider-Man: No Way Home menjadi film puncak bagi Peter Parker MCU dengan plot ‘ke dalam’, alih-alih ‘keluar’ seperti pola sebelumnya. Agar penonton bisa mengerti sepenuhnya, apa esensi dan jati diri sesungguhnya dari seorang Spider-Man.
Karena alasan inilah, film Spiderman: No Way Home punya plot yang jauh sederhana dari film-film sebelumnya, tapi sangat berat dalam eksplorasi karakter, terutama Peter Parker sebagai tokoh utama. Penonton seperti ‘dipaksa’ untuk memahami apa saja nilai dan prinsip yang dipegang oleh Peter Parker dan Spider-Man, menggunakan bom nostalgia melalui ragam adegan napak tilas selama 20 tahun yang menyimpulkan sebuah pertanyaan:
Apa yang membuat seorang Spider-Man menjadi superhero yang hebat dan berbeda dari yang lain?
Di versi komiknya, pertanyaan ini dijawab dengan sebuah kejadian dimana Spider-Man melompat tanpa ragu di jalur peluru demi menyelamatkan Captain America dari tembakan The Punisher:


Buat saya pribadi, panel komik di atas menunjukan bagaimana kompas moral yang dimiliki oleh Spider-Man, bahwa dia adalah seorang superhero sejati yang tidak segan mengorbankan nyawa sendiri demi melindungi orang lain.
Walaupun tidak memiliki otak sepintar Iron Man atau karisma pemimpin seperti Captain America, Spider-Man memiliki satu hal yang tidak kalah berkualitas: dimana dia selalu mencoba melakukan hal yang benar demi menolong orang lain walaupun membahayakan dirinya sendiri.


Ada sebuah kutipan dari artikel Screen Rant yang membuat saya termenung:
Spider-Man doesn’t kill. His reasoning isn’t just that he doesn’t believe in killing, though. He is someone who believes it is his responsibility to help everyone, even though that has been harder in recent years. In one of the most devastating betrays in the Spider-Man comics, Harry Osborn almost killed him and he was still there with him when he died.
Buat saya, inilah esensi sejati dari seorang Spider-Man, bagaimana dia hanya ingin menolong orang lain, siapapun itu. Sebuah tujuan mulia yang sangat sederhana, tidak ada objektif lain yang lebih tinggi atau lebih hakiki. Dia hanya ingin menjadi friendlyhood neighborhood Spider-Man!
Dan tentu saja, tidak ada yang dapat menyimpulkan bagaimana kompas moral seorang Spider-Man selain Captain America:
Hanya dengan 12 panel komik, pembaca dapat menangkap dengan jelas bagaimana kompas moral dan apa yang menjadikan Spider-Man seorang superhero. Lalu bagaimana dengan Spider-Man versi MCU?
“With a great power, comes great responsibility”
Satu kutipan yang menjadi mantra bagi Spider-Man, berhasil divisualisasikan menjadi sebuah benang merah cerita yang apik yang menyambungkan Spider-Man versi Tobey Maguire, Spider-Man versi Andrew Garfield, dan Spiderman versi Tom Holland. Semuanya kompak, dan berhasil menunjukan esensi jati diri yang sama: Spider-Man yang selalu mencoba melakukan hal yang benar demi menolong orang lain (termasuk musuhnya) walaupun membahayakan dirinya sendiri.
Tapi jeniusnya, Kevin Feige dan Jon Watts melakukannya tidak dengan sederhana. Mereka memanfaatkan kedekatan dan pengetahuan kita sebagai fans Spider-Man yang sudah dipupuk selama 20 tahun, dan menghadirkan sebuah rekonsiliasi yang kita tidak sadari ternyata kita butuhkan.
Bagaimana Jika dan Apa Yang Terjadi Selanjutnya?
Ada satu kebiasaan yang menurut saya ‘aneh’ dan selalu saya lakukan ketika selesai menonton sebuah film, terutama film yang menurut saya punya cerita bagus dan berkualitas tinggi. Saya selalu bertanya pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apa yang terjadi pada karakter setelah film usai? Bagaimana mereka hidup? Apakah yang mereka lakukan sekarang? Bagaimana jika karakter tersebut membuat keputusan yang berbeda? Apakah saya akan merasakan kepuasan dan cinematic experience yang sama?
Mungkin terkesan sepele, tapi pertanyaan jenaka ini sudah saya miliki sejak sangat lama, termasuk ketika saya menonton trilogi film Spider-Man pertama dan dua film The Amazing Spider-Man. Saya membayangkan, sebuah output alternatif cerita jika keputusan yang diambil dan situasi yang ada berbeda dari apa yang diperlihatkan.
Keinginan ini, ternyata secara tidak sadar membuat sebuah ekspektasi dalam alam bawah sadar, yang saya baru sadari ketika baru selesai menonton Spider-Man: No Way Home.
Sebagai penonton, sayas secara naluriah ingin mendapatkan perasaan yang menyenangkan ketika selesai menonton sebuah film. Karena itu, biasanya saya ingin merasakan happy ending dimana semua karakter mendapatkan kemenangannya, baik itu protagonis, antagonis, hingga karakter pendukung. Tapi tentu saja, cerita akan terasa membosankan, bukan?

Menurut penulis cerita Dan Harmon, salah satu faktor yang membuat sebuah cerita menarik adalah penonton harus dapat melihat dan merasakan apa saja yang harus dikorbankan oleh karakter utama. Dengan kata lain, harus ada gejolak emosi yang naik turun sepanjang cerita yang dirasakan oleh karakter utama.
Harus ada sebuah trigger yang membuat perubahan fundamental pada karakter utama di akhir cerita. Dan di setiap film Spider-Man yang ada, trigger terbesar tersebut biasanya adalah orang terdekat mereka seperti Ben, May, dan Gwen. Tapi menurut saya, ada juga trigger lainnya yang tidak kalah penting, yaitu kekalahan dari musuh-musuh Spider-Man seperti matinya Green Goblin, Doc Oc, Electro hingga Lizard. Mereka semua memberikan sebuah trigger bagi Spider-Man untuk berubah menjadi lebih baik, tapi secara bersamaan membuat pertanyaan di benak penontonnya: Apa yang terjadi jika Spider-Man mampu menyelamatkan semuanya?
Spider-Man: No Way Home menjawabnya dengan sempurna, dengan memberikan kita sebuah act of redemption yang kita inginkan tanpa kita sadari, yang sudah tersimpan selama 20 tahun.
Bagi saya, disinilah salah satu faktor utama kenapa film Spider-Man: No Way Home begitu menarik dan emosional. Cerita memberikan para Spider-Man dari pikiran dan memori kita kesempatan kedua untuk mendapatkan happy ending dari mereka masing-masing. Dan Kevin Feige serta Jon Watts benar-benar memastikan hal tersebut dengan amat sangat detail, mulai dari gestur, narasi, hingga emosi. Dan bom nostalgia di film ini tidak hanya terasa karena kehadiran aktor lama yang sudah ada sebelumnya, tapi juga desain plot cerita, narasi, hingga detail adegan.
Spider-Man versi Tobey Maguire, mendapatkan act of redemption-nya tidak hanya dengan mencegah penjahatnya terbunuh, tapi bahkan menyembuhkan mereka semua: Green Goblin sembuh menjadi Norman Osborn, Doc Oc mendapatkan ketenangan di pikirannya, hingga Flint Marko yang berubah menjadi manusia normal.
Begitu juga dengan Spider-Man versi Andrew Garfield, yang juga tidak hanya berhasil menyembuhkan Lizard dan berdamai dengan temannya Max alias Electro, tapi diberi kesempatan kedua melakukan satu hal yang sangat begitu kita inginkan: melakukan reka ulang adegan ketika gagal menyelamatkan Gwen.
Inilah kenapa saya bilang kita sebagai penonton setia Spider-Man selama 20 tahun punya sesuatu yang tanpa sadari kita inginkan: sebuah closure, rekonsiliasi dan act of redemption dimana para Spider-Man berhasil melakukan apa yang mereka gagal lakukan sebelumnya, dan Kevin Feige serta Jon Watts memberikannya dengan amat sempurna dengan penuh emosional!
Lalu, bagaimana dengan Spider-Man versi Tom Holland?
Berbeda dengan pendahulunya yang sudah melaju dari titik 0 ke titik 3, Spider-Man MCU harus mundur dari titik 3 ke titik 0, sebelum akhirnya lahir kembali dan mulai menuju titik 1. Melalui sebuah momentum adegan brilian yang sangat simbolik: memperlihatkan Spider-Man mengenakan kostum classic suit, persis seperti komiknya.

Sebuah cara fantastis yang yang akan membuat penonton terharu dan penuh emosional, sebuah cara terbaik untuk mengakhiri sekaligus memulai awal cerita yang baru.
Saya pribadi mengerti kenapa tidak sedikit orang yang bilang kalau film Spider-Man: No Way Home ini punya plot yang tergolong biasa dan tidak ‘wah’ seperti film-film sebelumnya. Saya rasa karena ceritanya memang didesain tidak ‘keluar’ dan fokus pada elemen cerita eksternal, tapi lebih ‘ke dalam’ dan fokus pada eksplorasi karakter utama, yaitu Peter Parker versi Tom Holland.
Spider-Man: No Way Home fokus pada pembangunan dan pengulangan momen, bukan penjelajahan cerita.
Dan buat saya pribadi, menonton Spider-Man: No Way Home itu seperti pada saat kita meminum air dingin yang segar ketika seharian panas-panasan di luar. Seperti pada saat kita menempel potongan puzzle terakhir, atau seperti pada saat kita akhirnya bisa tidur di kasur yang super nyaman setelah seharian capai bekerja.
Rasanya puas, dari lubuk hati yang terdalam.